Saat gegap gempita kampanye Pemilu Legislatif 2004 yang lalu seorang yang dikenal ‘preman’ sesumbar di khalayak umum akan meng-iris2 daun telinganya bila saya jadi Anggota Dewan. Malah sebagian politisi lokal menganggap partai saya sebagai partai gurem yang tidak mungkin mendapatkan satu pun jatah kursi.Alhamdulillah empat kursi telah diraih partai dakwah kami. Lebih-lebih di desa tempat saya tinggal partai kami meraih urutan pertama, sehingga mendapat hadiah dua ekor kambing, sebagaimana janji donatur bila ada desa yang menang.Sebagai seorang guru di sebuah SMA swasta, bagi saya menjadi anggota dewan terasa mimpi. Mimpi pakai jas seharga satu juta lima puluh ribu saat dilantik. Jas dewan ini kemudian saya hibahkan kepada kader yang menikah bulan Agustus, dua hari setelah saya dilantik.Setelah saya jadi Anggota Dewan, menurut istri muncullah istilah menggelikan baginya seperti ‘Ibu Dewan’ atau saran tetangga ‘harus tampil beda’. Adalagi sindiran ibu-ibu PKK, “Kapan nih naik mobil dewan?”. Bahkan ada yang lebih usil lagi, “Ummi harus ngurus badan, biar Abi nggak nikah lagi.” Istri saya mesem-mesem saja mendengar komentar ini.Di desa, jabatan adalah hal yang prestise. Jangankan anggota dewan, pegawai negeri golongan rendah saja jadi rebutan para orang tua pencari menantu. Tak ketinggalan di desa rumah dan perabotan jadi ajang kompetisi, dandananpun bak orang metropolitan.Anak keempat saya yang masih SMP memberondong saya dengan bermacam permintaan, mulai dari komputer sampai HP. Ada juga yang minta meja belajar, sepatu baru, sampai lantai rumah minta dikeramik! Wah, entah darimana dapat informasi anggota dewan uangnya banyak.Sebelumnya saya sering minta maaf kepada istri dan anak-anak karena tidak terpenuhinya sarana dan prasarana kehidupan rumah tangga yang layak. Kencangnya aktivitas dakwah selain mengajar menjadi alasan sulitnya mencari peluang tambahan dapur. Istri sayalah yang menutup ekonomi keluarga sampai anak bisa kuliah.Selintas saya berpikir, saatnya sekarang ini memenuhi permintaan anak-anak dalam batas kewajaran. Terutama ingin meringankan istri yang kadang pontang-panting mencari dana tambahan ketika anak mau semesteran. Namun sekarang, saya dan istri harus menghadapi setumpuk proposal pembangunan masjid atau mushala ada di meja. Ada tukang becak yang datang malu-malu minta sumbangan untuk anaknya yang di SMP. Kader yang sakit jantung dan ada lagi kader di ujung desa datang mohon sumbangan adiknya operasi usus buntu.Saya yakin masih banyak saudara kita yang butuh pertolongan, walau sejujurnya, ambisi pribadi, kepentingan dunia dan hawa nafsu seringkali melintas dalam benak saya. Saya bersyukur istri dan anak-anak bisa mengerti. Semua ini tidak akan terwujud tanpa pengertian yang besar dari mereka. Bahkan ketika ‘preman’ yang berjanji mengiris daun telinganya pun sempat datang minta sumbangan.
( source :http://anugerah.hendra.or.id/pasca-nikah/2-istri/anak-dan-istri-sang-anggota-dewan-kisah-teladan-5/ )