Lantaran lahir dari keluarga miskin, Sunarno hanya bisa menamatkan SD. Lebih prihatin lagi, sejak kecil ia sudah yatim piatu. Terpaksa ikut orang ke beberapa kota, jadi kacung untuk sekedar bisa hidup. Tapi itu tidak lama dilakoni. Ketika kembali ke Solo, akhirnya ia memilih profesi pemulung. Kok jadi pemulung? “Saya bosan jadi kacung yang selalu disuruh-suruh orang. Jiwa saya ingin kebebasan,” jawabnya.
Tinggal di daerah kumuh yang berjarak 500 meter dari tempat pembuangan sampah. Pekerjaannya mengais-ngais sampah, mengumpulkan barang bekas. Plastik dan kardus jadi incarannya. Setiap hari ia bersama teman-teman menanti datangnya truk sampah. Begitu mobil pembawa rejeki tiba, mereka berlarian mendekat, lalu berebut barang-barang bekas - siapa cepat, dia dapat. “Apalagi yang namanya balung (tulang sapi - red). Itu ibarat emas bagi kami. Nilainya tinggi kalau dijual,” jelas ayah dua anak ini.
Ia sendiri pernah merasa amat bahagia sewaktu mendapatkan bonggol kubil (kol). Soalnya “benda berharga” itu didapatnya setelah mengalahkan beberapa saingan. Lewat “kompetisi” yang ketat ia berhasil mendapatkannya. “Hati saya bangga dan puas karena itu suatu prestasi,” katanya tersenyum. Ada satu hal lagi yang membahagiakan hatinya, yaitu saat menyetel radio tatkala masih hidup di kolong jembatan.”Sayangnya tak terkira, sama bahagiannya dengan orang naik Mercy atau Volvo,” tambah ayah tiga anak ini.
Sinar terang perubahan hidup mulai tampak pada 1994, ketika tetangganya memperkanalkan bisnis MLM. Hampir tiap hari tetangga sebelah bercerita, walau kadang-kadang ia tidak menangkap maksudnya. Maklum cuma lulusan SD. Jangankan ngerti, untuk hafal nama MLM yang berbahasa Inggris itu saja susah banget. “Seminggu belum hafal,” katanya tertawa. “Tadinya saya nggak mikirin. Tapi lantaran sering dengar dan lihat, lama-lama hafal juga.”
*Kuncinya keyakinan*
Setelah belajar dan ditempa dalam berbagai training dan seminar, dalam hatinya timbul keyakinan. Mulailah ia menjalani bisnis MLM sepenuh hati. Pagi hari, sesuai profesi, ia cari barang-barang bekas.Siangnya, setelahmandi, pergi memprospek orang.
Di usaha apa saja pasti ada tantangan. Sunarno pun begitu. Dibilang ngeyel atau mimpi, itu masih halus. Soalnya, ada yang mencercanya bagai cicak makan tiang. Namun itu tidak mengecilkan hatinya, sebab sejak kecil ia sudah terbiasa dengan kompetisi dan tantangan. “Itulah yang mendorong saya untuk maju. Orang gagal itu biasanya engga mau menghadapi tantangan. Kalau engga siap mental, yang paling mudah dilakukan adalah berhenti,” kata pria yang gemar bertani ini.
Menurut Sunarno, kunci keberhasilannya hanya satu: keyakinan. Sebab keyakinan itu seakan-akan kenyataan. Ia tumbuh dari penguasaan materi dan belajar dari orang-orang sukses. Bila ingin sukses, bergabunglah dengan orang-orang sukses, minimal ketularan. Motivasinya dalam berusahan sederhana saja: kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak bisa. Pasti bisa!”Sekarang usaha itu persaingannya ketat, minimal butuh modal besar. Tapi di bisnis MLM yang saya tekuni ini, sing penting niat dan mau. Nggak perlu jadi pemulung dulu kayak saya. Setelah itu, tinggal melakukan. Perlu tindakan. Itulah modal yang paling utama,” tandasnya.Lucunya, dulu karena tinggal di tempat kumuh, sebagian orang belum mau menerima ajakannya. “Kalau kamu berhasil, baru saya mau ikut,” kata mereka. Namun setelah berhasil, Sunarno menagih janji. Mereka menjawab, Lha iya, terang saja Pak Narno sekarang sudah berhasil kok.” Jadi lagi-lagi saya yang disalahkan,” katanya sembari tertawa kecil. “Itu soal mental. Semua itu kembali ke pribadi masing-masing.”
Bila teringat kehidupan masa lalu, Sunarno masih diliputi rasa haru. Jadi ketika dapat fasilitas rumah dari MLM, Sunarno sengaja memilih di Mojosongo,daerah yang ia huni dulu agar tidak lupa pada sejarah. Tapi bila dulu orang meremehkannya, sekarang lain, “Kalau lingkungan butuh sesuatu, saya yang lebih dulu dimintai sumbangan,” ujarnya.
*Ingin mengukir sejarah*
Banyak sudah suka duka yang dialami Sunarno selama menjalankan MLM. Yang berkesan adalah rekan-rekan, khususnya dalam jaringannya, selalu merujuk pada latar belakangnya. “Pak Narno yang pemulung saja bisa, kok saya tidak bisa.” Mereka terpacu dengan itu. Juga sewaktu dinobatkan sebagai Manager pertama kali, ia tidak mengira bakal dimintai bicara di depan umum. “Saya sangat terharu. Dengan terbata-bata saya ceritakan perjalanan hidup saya.”
Kehidupan itu, menurut Sunarno, ibarat tiada gelombang yang indah tanpa menerjang karang. Banyak orang mendambakan hidup aman, damai, tenteranm, bahagia dan sejahtera. Hidup seperti ini ideal sekali. “Bagi saya hidup itu sederhana saja, minimal kita punya cita-cita, yaitu sukses dalam segala bidang. Tapi untuk itu diperlukan tindakan, rencana, tujuan, komitmen, keyakinan, mengenal diri, dan cinta. Itu semua merupakan mata rantai yang tak terpisahkan.” Ia mengaku, waktu kecil tidak punya cita-cita lantaran miskin. Semua dijalani saja. Cita-cita itu baru terbentuk setelah ia bergabung dengan MLM. Sunarno ingin berbakti pada bangsa dan negara. “Ukuran saya bukan penghasilan lagi. Tapi tanggungjawab kepada negara untuk menciptakan suasana yang baik lewat usaha MLM. Misi saya ingin menolong orang yang tidak punya, karena falsasah hidup untuk mengasihi dan melayani telah tertanam dalam diri saya. Falsafah dan misi itu penting dalam segala usaha.”Selain itu Sunarno ingin umur panjang. Dalam arti bisa mengukir sejarah sehingga tetap dikenang walau kelak sudah tiada. Maka, dalam kamusnya tidak ada kata terlambat untuk belajar. Tiga tahun lalu bersama sang istri, ia mangambil penyesuaian SMP dan SMA. Bahkan kini ia kuliah dobel. Pagi ambil Pertanian di Universitas Pembangunan Solo, malam kuliah di Fakultas Hukum Unisri.
Kok sampai dobel? “Saya tertarik di pertanian karena melihat Indonesia jauh tertinggal di bidang itu. Padalah kondisi alamnya sangat kaya. Orientasi saya adalah membudayakan pola tanam organik, dan hasil dari pertanian ini kita bisa memberikan sumbangan kepada negara. Sementara itu, saya kuliah di hukum supaya tahu mana benar dan mana yang perlu diluruskan,” paparnya.
Sebelum berpisah, ia berpesan kepada rekan-rekan dalam jaringannya agar tidak gampang menyerah, siap dikritik, semangat menyala-nyala, selalu berjuang, rela berkorban, dan berdoa. “Beranilah mengambil keputusan, karena keputusan itulah langkah awal sukses.”
Ia sendiri pernah merasa amat bahagia sewaktu mendapatkan bonggol kubil (kol). Soalnya “benda berharga” itu didapatnya setelah mengalahkan beberapa saingan. Lewat “kompetisi” yang ketat ia berhasil mendapatkannya. “Hati saya bangga dan puas karena itu suatu prestasi,” katanya tersenyum. Ada satu hal lagi yang membahagiakan hatinya, yaitu saat menyetel radio tatkala masih hidup di kolong jembatan.”Sayangnya tak terkira, sama bahagiannya dengan orang naik Mercy atau Volvo,” tambah ayah tiga anak ini.
Sinar terang perubahan hidup mulai tampak pada 1994, ketika tetangganya memperkanalkan bisnis MLM. Hampir tiap hari tetangga sebelah bercerita, walau kadang-kadang ia tidak menangkap maksudnya. Maklum cuma lulusan SD. Jangankan ngerti, untuk hafal nama MLM yang berbahasa Inggris itu saja susah banget. “Seminggu belum hafal,” katanya tertawa. “Tadinya saya nggak mikirin. Tapi lantaran sering dengar dan lihat, lama-lama hafal juga.”
*Kuncinya keyakinan*
Setelah belajar dan ditempa dalam berbagai training dan seminar, dalam hatinya timbul keyakinan. Mulailah ia menjalani bisnis MLM sepenuh hati. Pagi hari, sesuai profesi, ia cari barang-barang bekas.Siangnya, setelahmandi, pergi memprospek orang.
Di usaha apa saja pasti ada tantangan. Sunarno pun begitu. Dibilang ngeyel atau mimpi, itu masih halus. Soalnya, ada yang mencercanya bagai cicak makan tiang. Namun itu tidak mengecilkan hatinya, sebab sejak kecil ia sudah terbiasa dengan kompetisi dan tantangan. “Itulah yang mendorong saya untuk maju. Orang gagal itu biasanya engga mau menghadapi tantangan. Kalau engga siap mental, yang paling mudah dilakukan adalah berhenti,” kata pria yang gemar bertani ini.
Menurut Sunarno, kunci keberhasilannya hanya satu: keyakinan. Sebab keyakinan itu seakan-akan kenyataan. Ia tumbuh dari penguasaan materi dan belajar dari orang-orang sukses. Bila ingin sukses, bergabunglah dengan orang-orang sukses, minimal ketularan. Motivasinya dalam berusahan sederhana saja: kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak bisa. Pasti bisa!”Sekarang usaha itu persaingannya ketat, minimal butuh modal besar. Tapi di bisnis MLM yang saya tekuni ini, sing penting niat dan mau. Nggak perlu jadi pemulung dulu kayak saya. Setelah itu, tinggal melakukan. Perlu tindakan. Itulah modal yang paling utama,” tandasnya.Lucunya, dulu karena tinggal di tempat kumuh, sebagian orang belum mau menerima ajakannya. “Kalau kamu berhasil, baru saya mau ikut,” kata mereka. Namun setelah berhasil, Sunarno menagih janji. Mereka menjawab, Lha iya, terang saja Pak Narno sekarang sudah berhasil kok.” Jadi lagi-lagi saya yang disalahkan,” katanya sembari tertawa kecil. “Itu soal mental. Semua itu kembali ke pribadi masing-masing.”
Bila teringat kehidupan masa lalu, Sunarno masih diliputi rasa haru. Jadi ketika dapat fasilitas rumah dari MLM, Sunarno sengaja memilih di Mojosongo,daerah yang ia huni dulu agar tidak lupa pada sejarah. Tapi bila dulu orang meremehkannya, sekarang lain, “Kalau lingkungan butuh sesuatu, saya yang lebih dulu dimintai sumbangan,” ujarnya.
*Ingin mengukir sejarah*
Banyak sudah suka duka yang dialami Sunarno selama menjalankan MLM. Yang berkesan adalah rekan-rekan, khususnya dalam jaringannya, selalu merujuk pada latar belakangnya. “Pak Narno yang pemulung saja bisa, kok saya tidak bisa.” Mereka terpacu dengan itu. Juga sewaktu dinobatkan sebagai Manager pertama kali, ia tidak mengira bakal dimintai bicara di depan umum. “Saya sangat terharu. Dengan terbata-bata saya ceritakan perjalanan hidup saya.”
Kehidupan itu, menurut Sunarno, ibarat tiada gelombang yang indah tanpa menerjang karang. Banyak orang mendambakan hidup aman, damai, tenteranm, bahagia dan sejahtera. Hidup seperti ini ideal sekali. “Bagi saya hidup itu sederhana saja, minimal kita punya cita-cita, yaitu sukses dalam segala bidang. Tapi untuk itu diperlukan tindakan, rencana, tujuan, komitmen, keyakinan, mengenal diri, dan cinta. Itu semua merupakan mata rantai yang tak terpisahkan.” Ia mengaku, waktu kecil tidak punya cita-cita lantaran miskin. Semua dijalani saja. Cita-cita itu baru terbentuk setelah ia bergabung dengan MLM. Sunarno ingin berbakti pada bangsa dan negara. “Ukuran saya bukan penghasilan lagi. Tapi tanggungjawab kepada negara untuk menciptakan suasana yang baik lewat usaha MLM. Misi saya ingin menolong orang yang tidak punya, karena falsasah hidup untuk mengasihi dan melayani telah tertanam dalam diri saya. Falsafah dan misi itu penting dalam segala usaha.”Selain itu Sunarno ingin umur panjang. Dalam arti bisa mengukir sejarah sehingga tetap dikenang walau kelak sudah tiada. Maka, dalam kamusnya tidak ada kata terlambat untuk belajar. Tiga tahun lalu bersama sang istri, ia mangambil penyesuaian SMP dan SMA. Bahkan kini ia kuliah dobel. Pagi ambil Pertanian di Universitas Pembangunan Solo, malam kuliah di Fakultas Hukum Unisri.
Kok sampai dobel? “Saya tertarik di pertanian karena melihat Indonesia jauh tertinggal di bidang itu. Padalah kondisi alamnya sangat kaya. Orientasi saya adalah membudayakan pola tanam organik, dan hasil dari pertanian ini kita bisa memberikan sumbangan kepada negara. Sementara itu, saya kuliah di hukum supaya tahu mana benar dan mana yang perlu diluruskan,” paparnya.
Sebelum berpisah, ia berpesan kepada rekan-rekan dalam jaringannya agar tidak gampang menyerah, siap dikritik, semangat menyala-nyala, selalu berjuang, rela berkorban, dan berdoa. “Beranilah mengambil keputusan, karena keputusan itulah langkah awal sukses.”