Tengoklah jalanan kota Najaf. Anak muda dengan bandana hitam, menenteng roket berpeluncur granat, RPG, dengan gagah. Yang lain, menyampirkan surban dibahu, dengan moncong senapan Kalashnikov AK-47 menyembul dibaliknya. Mereka berpatroli di jalanan kota. Bila bersisian dengan patroli Amerika atau polisi Irak, mereka sebat menyingkir ke rumah penduduk atau mesjid, lalu mengancang untuk menyerang. Selain di jalanan, banyak pula yang menjadi penembak runduk, atawa sniper.
Itulah milisi Al Mahdi, gerilyawan bersenjata pendukung ulama Syiah Muqtada al Sadr. Tak jelas, seperti apa organisasinya, wong namanya juga gerilyawan. “Ini adalah organisasi pertama Syiah dari akar rumput. Mereka memiliki disiplin militer tinggi, hasil didikan alamiah perang berkepanjangan di Irak,” kata Toby Dodge, pakar Irak dari Universitas Warwich, Inggris.
Tapi tak semua kelompok bersenjata adalah milisi Al Mahdi. Ada juga yang hanya berkepntingan menjaga tempat tinggalnya saja. Dodge memperkirakan, anggota milisi Al Mahdi sekitar 10 ribu orang. Mereka adalah anak-anak muda yang kecewa dengan jargon pembebasan yang didengungkan Amerika. “Jumlah ini bisa membesar, sebab kekecewaan merata pada semua warga Irak,” sambung Dodge.
Memang pengikut Al Sadr disatukan oleh rasa kecewa. Sehingga mereka tidak peduli dengan posisi dan status. “Saya tidak tahu posisi saya apa di milisi, tapi saya akan ikut apa kata Sadr,” kata Kathem Rissan, pemuda Baghdad yang ditanyai jabatan dan pangkatnya di Organisasi Al Mahdi.
Al Mahdi, mengacu kepada nama Imam Mahdi al-Muntazar, seorang pemimpin Syiah yang dipercaya akan datang menjelang hari kiamat. Al Muntazar, berarti “seseorang yang ditunggu”. Dalam terminologi injil, Al Mahdi berarti figur mesias. Dalam kepercayaan aliran Syiah, Imam Mahdi adalah imam ke-12, yang menghilang, untuk datang kembali bersamaan dengan turunnya Nabi Isa al Masih, guna memerangi kejahatan yang dimotori Dajjal.
Milisi Al Mahdi berdiri pertengahan 2003, sejalan dengan semakin menghangatnya semangat anti Amerika yang disuarakan Muqtada al Sadr dalam khutbah Jumatnya. Milisi ini tak pernah menenteng senjata secara demonstratif. Senjata Kalashnikov milik mereka tersimpan rapi di rumah. Aktivitas milisi ini adalah penyadaran, bahwa Amerika suatu saat harus hengkang. Kelompok bersenjata, yang mengawali pertempuran di Najaf, adalah milisi Al-Ghadab (kemarahan), pimpinan Hadi Al-Yamani.
Nama Al Sadr dan Al Mahdi moncer akhir Maret lalu, saat lusinan tentara Amerika menutup paksa kantor koran Al Hawza. Koran yang dikelola ulama Muqtada Al Sadr ini dituduh menyebarkan informasi yang salah tentang kegiatan Amerika di Irak. Koran bertiras minimal 10 ribu eksemplar ini, juga dituduh memprovokasi massa agar melawan Amerika. Tak heran, penutupan ini memantik kemarahan kaum Syiah, yang kini sudah mendapat tempat kembali di ranah politik Irak. Penutupan ini juga mengangkat nama Muqtada Al Sadr. Nama Sadr dan fotonya pun menjadi aikon dalam unjuk rasa anti Amerika.
Salat Jumat pertama setelah penutupan, dimanfaatkan Al Sadr untuk memanggil umat melawan pendudukan Amerika. Inilah kali pertama Sadr menunjukkan perlawanan terbuka. Kekerasan demi kekerasan yang dipertontonkan Amerika dalam memburu Al Sadr justru membuat keanggotan Al Mahdi membengkak. Al Sadr mengklaim didukung 15 persen kaum Syiah, yang berarti sekitar 2,5 juta orang.
Memang, faksi Al Sadr ditubuh pergerakan Syiah hanya sedikit. Apalagi, ulama Syiah memiliki pengikut fanatik sendiri-sendiri. Pergilah ke Selatan. Disana banyak milisi yang menjadi pengikut ulama tertentu atau partai politik tertentu, yang tidak menyatu satu sama lain dengan milisi ulama lainnya. Atau pergilah ke Utara, disana berkuasa partai beraliran kesukuan, Kurdi.
Ulama Syiah terkemuka, Ayatollah al Sistani pun tidak sepenuhnya mendukung Al Sadr. Sistani menyerukan semua pasukan bersenjata, agar menjaga kesucian tempat suci kaum Syiah, seperti mesjid Imam Ali, yang kini digunakan pasukan Al Mahdi sebagai benteng pertahanan terakhir.
Pandangan berbeda juga ditunjukkan Dewan Tertinggi Revolusi Islam Irak. Satu pihak menuduh Al Mahdi disusupi tokoh aktivis Baath, parati pendukung Saddam Husein. Satu lainnya, menganggap ini fenomena biasa, karena Amerika kehilangan kendali di Najaf, Kufa, dan Basra.
Perbedaan pendapat ditubuh Syiah adalah hal yang biasa. Namun dalam menghadapi pendudukan Amerika dipastikan mereka akan bersatu. “Walaupun saya pengikut Al Sistani, saya tidak akan rela ada pemimpin Syiah yang dihinakan. Saya akan menolak penangkapan Al Sadr,” kata Fadhil Ali, guru bahasa Arab.
Dukungan juga diberikan kaum Syiah di luar negeri. Pemimpin spritual Syiah Iran, Ayatollah Khamenei, memperingatkan Amerika agar jangan merusak tempat suci. Seruan serupa juga datang dari Sekjen Hizbullah Lebanon.
Namun teguran juga diarahkan kepada milisi Al Mahdi. Warga Karbala menyalahkan keberadaan milisi, sebab gara-gara kehadiran mereka di Karbala, tentara Amerika berkonsentrasi dalam jumlah besar disana. “Jika milisi tidak berada di tempat suci, Amerika tidak akan menyerang tempat itu,” kata seorang warga.
Bahkan di Najaf, sejumlah orang membentuk milisi Thulfiqar Army, untuk menjaga kesucian tempat-tempat suci kaum Syiah. Sejumlah leaflet terpasang dibeberapa lokasi yang memerintahkan Al Mahdi segera meninggalkan mesjid dan kompleks pemakaman Imam Ali. Ada pula warga yang menuduh Al Sadr sebagai Saddam kedua, karena tingkah milisi Al Mahdi yang menghabisi warga yang menegur mereka soal menjaga tempat suci. Abbas, seorang tukang kayu lain lagi. Ia mengaku punya tetangga yang ikut Al Mahdi karena ingin berpose dengan pakaian kebesaran Al Mahdi, seragam hitam lengkap dengan ikat kepala hitam.
Apapun, perlawanan Al Sadr dengan tentara Al Mahdi di Najaf, Kufa, dan Karbala, menunjukkan hal penting bagi Amerika: ada sekelompok orang yang tidak terima dengan perlakuan mereka. Dan dia adalah Muqtada Al Sadr.
Dimuat di INSANI, Agustus 2004