Aku berusia 11 tahun ketika ibuku menikah lagi. Saat aku berusia empat atau lima tahun, ibu dan ayah bercerai. Lalu kami pindah dari sebuah apartemen lantai dasar yang terang dan cerah di lingkungan kelas menengah yang aman ke sebuah apartemen lantai empat yang lebih kecil dan lebih gelap di daerah yang lebih miskin di kota New York. Aku dan adikku sering kali merasa kesepian dan takut, mendengar sirine polisi dan ambulans yang memekakkan telinga di malam hari.
Selama enam tahun kami tinggal di sana, aku ingat kecemburuanku pada teman-temanku yang mempunyai ayah. Adalah impianku untuk mempunyai seorang Ayah untuk diriku sendiri. Ayahku sendiri sudah meninggalkan kehidupanku sepenuhnya - di mana dia berada merupakan misteri. Aku berpikir bahwa, kalau saja aku mempunyai ayah, dia akan menjadi pelindung yang kuat yang secara magis akan melindungi diriku terhadap segala bahaya yang kuhadapi di jalanan. Bagaimanapun, dalam fantasi seorang anak, ayah baruku tidak perlu bekerja. Dia cukup ada di sana untukku, setiap kali aku membutuhkannya. Kalau ada anak lain mengancamku, Super Dad akan muncul dan mengusir mereka. Itu benar-benar merupakan sebuah impian yang begitu kuat bagi seorang anak laki-laki yang merasa takut.
Tiba-tiba Frank McCarty muncul dalam kehidupan kami. Dia menyenangkan dan menarik karena dia adalah seorang kapten polisi detektif kota New York. Dia mempunyai lencana polisi yang terbuat dari emas dan pistol yang tergantung di sabuknya, tersembunyi di balik jaketnya. Aku tidak ingat waktu pertama kali dia muncul, tetapi aku ingat waktu-waktu dan peristiwa-peristiwa yang menyenangkan dan dramatis. Kehidupan polisi seperti kehidupan dalam film-film. Polisi bukanlah orang-orang yang Anda ketahui sebenarnya. Dan aku menceritakan tentang dia kepada teman-temanku. Mata mereka membelalak saat aku menceritakan senjatanya dan kisah-kisah yang dia ceritakan kepadaku tentang bagaimana dia menangkap para penjahat.
Frank McCarty tidak suka menceritakan kisah-kisah tersebut, tetapi ibuku ingin agar dia bisa diterima oleh kami, aku dan adikku, dan ibu memang tahu apa yang ingin didengar oleh anak-anak. Ibu ingin agar dia menceritakan sebuah kisah tertentu dan dia tidak akan menolak dan dengan sabar menceritakan kisah tersebut. Saat dia semakin asyik menceritakan kisah tersebut, dia menjadi begitu hidup dan kisah tersebut menjadi begitu hebat bagaikan sebuah mitos.
Pada suatu hari, Ibu bertanya kepadaku bagaimana perasaanku kalau dia menikah dengan Frank. Saat itu aku benar-benar telah masuk perangkap. Frank McCarty telah mengajakku menonton pertandingan bisbol di Polo Grounds. Dia juga telah mengajakku ke Coney Island. Dia berbicara kepadaku, menasihatiku tentang bagaimana menghadapi anak-anak yang suka menggangu di jalanan. Senjatanya memancarkan sinar kehitaman dari balik jaketnya. Aku bisa mempunyai seorang ayah, seorang pelindung, seseorang yang mengajakku menonton pertandingan. "Wow!" kataku, "Saya pasti senang!"
Maka hari itu tibalah. Kami pergi ke sebuah hotel resor di pedesaan yang pemiliknya merupakan salah seorang teman ibu. Seorang teman ibu lainnya, seorang hakim, memimpin perkawinan itu. Aku mempunyai ayah. Kini segalanya beres.
Sebagai seorang anak berusia 11 tahun, aku tidak tahu bahwa ayah baruku mempunyai pengalaman yang sangat terbatas mengenai anak-anak. Dia tidak mempunyai kesempatan untuk belajar sedikit demi sedikit tentang tugasnya yang baru sebagai orangtua dalam cara yang wajar, seperti yang biasanya dilakukan para ayah. Dia belum pernah menggendong bayinya sendiri, merasakan bagaimana senangnya melihat anaknya mulai berjalan, atau harus bergantian dengan istrinya memberi makan anak itu, mengenakan pakaiannya, mengganti popok, atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang masih banyak lagi - pokoknya tentang bagaimana menjadi orang tua.
Tiba-tiba dia harus menjadi orangtua, dan dia memperlakukan kami berdasarkan apa yang dia ketahui. Pengalamannya dengan anak-anak terbatas pada pengalaman menangkap sebagian dari anak-anak itu. Pengetahuannya tentang menjadi orangtua sama seperti cara ayahnya mendidik dan membesarkannya dengan cara-cara tahun 1990-an. Dia menganggap bahwa dia bisa duduk di ujung meja dan memberi perintah yang dia kira akan segera dipatuhi oleh anak-anak yang patuh.
Malang bagi dia, ibu mendidik kami untuk menjadi lebih mandiri, lebih berpartisipasi di dalam diskusi saat makan malam. Ibu mengajarkan kepada kami untuk berani berbicara di samping mau mendengarkan tentunya. Kami tidak diajari untuk bersikap tidak sopan atau kasar, tetapi kami boleh berdepat.
Yang lebih ruwet lagi dari semua ini adalah pada awak masa puber. Frank McCarty menjadi ayah, dengan keinginannya untuk memegang kendali, mengetahui semua yang terjadi, memimpin - pada saat aku beranjak menjadi remaja dan sedan dalam proses mencari kemandirian dan otoritas pribadi. Aku memang sangat tertarik kepadanya, bisa dikatakan hanya sekejap saja aku sudah mencintainya, namun, pada saat yang sama, hampir setiap kali aku marah padanya. Dia menjadi penghalang bagiku. Dia tidak mudah dimanipulasi. Aku dan adikku sangat lihai dalam memanipulasi ibu. Tetapi Frank McCarty tidak pernah mempan dengan tipu daya kami.
Dengan demikian mulailah masa delapan tahun sebagai masa yang benar-benar seperti neraka bagiku maupun bagi ayah baruku. Dia selalu memberi aturan dan aku selalu mencoba untuk mengabaikannya. Dia menghukumku dalam kamar karena kekasaranku atau sikapku yang tidak menyenangkan dirinya. Aku mengeluh dengan sangat kepada ibuku mengenai praktek-praktek kediktatorannya. Ibu mencoba dengan keras untuk menjadi juru damai, namun sia-sia.
Aku mengakui bahwa ada banyak sekali kesempatan di dalam hidupku mulai aku berusia 13 sampai 20 tahun sehingga aku menjadi marah dan merasa frustasi karena menurutku ayah melakukan hal yang tidak benar. Meskipun kami sering sekali menjadi sangat emosional, kadang-kadang kami merasa bahagia dan aku menikmati waktu-waktu yang menyenangkan bersamanya. Pergi berbelanja dengannya, setiap minggu, membeli bunga untuk "membuat kejutan bagi ibu", demikian dikatakannya. Pergi menonton pertandingan bola. Duduk di dalam mobil bersamanya, di alam terbuka pada waktu sudah larut, menjaga sebuah rumah. Dia akan mengajakku saat dia bertugas melakukan pengawasan, ketika dia menjadi detektif swasta dan bekerja kembali di New York, kalau kasusnya adalah sebuah penipuan asuransi atua sesuatu yang lain yang tidak berhubungan dengan kekerasan. Kami akan duduk di dalam mobil dengan lampu dipadamkan, menghirup kopi, dan dia berbicara tentang "pekerjaan", saat dia menyebut kariernya di departemen kepolisian. Aku merasa begitu istimewa, begitu dicintai, begitu dilibatkan pada saat-saat seperti itu. Sungguh semua itu benar-benar merupakan fantasiku sebelumnya. Seorang ayah yang mencintaiku, yang melakukan banyak hal bersamaku.
Aku ingat banyak, banyak malam, duduk di depannya di sebuah sandaran kaki dan dia menggosok punggungku saat kami menonton TV bersama-sama. Dia sering memelukku dengan erat. Dia tidak ragu untuk mengatakan, "Aku mencintaimu." Aku merasakan kelembutan luar biasa yang bisa diungkapkan oleh lelaki sekasar ini. Tetapi, dia bisa berubah dari saat-saat yang mesra ini menjadi berteriak-teriak sehingga wajahnya memerah dan dia marah dengan hebat kalau aku melakukan atau mengatakan sesuatu yang dia pikir kasar. Temperamennya merupakan fenomena alam seperti tornado. Sungguh aku merasa sangat ketakutan melihat hal itu dan bahkan lebih ketakutan lagi menjadi sasarannya.
Sewaktu aku duduk di bangku sekolah menengah, saat-saat aku yang penuh kemarahan itu semakin sering terjadi dan kedekatanku dengannya semakin berkurang. Saat mulai kuliah, aku hampir merasa asing dalam menghadapinya. Aku mendapatkan banyak simpati dari teman-temanku, kalau aku mengeluh tentang dirinya dalam percakapan-percakapanku dengan mereka. Aku menceritakan kisah tentang "kekasarannya" yang terakhir, dan masih saja bersikap seperti seorang anak remaja seperti diriku, dan mereka secara simpatik mengatakan betapa kami semua memiliki persoalan yang sama dengan ayah kami masing-masing.
Tahun terakhir aku di universitas. Aku tidak tahu apakah ada satu peristiwa yang menjadi pertanda kecuali bahwa aku menjadi setahun lebih tua dan menuju ke kedewasaan, tetapi aku mulai memikirkan kembali hubunganku dengan ayahku.
Aku berpikir, "Dia adalah lelaku yang jatuh cinta pada ibuku dan dia harus berhadapan dengan dua orang anak laki-laki remaja sebagai harga yang harus dibayar karena menikah dengannya. Dia tidak jatuh cinta kepada dua orang anak, tetapi hanya pada ibuku. Tetapi kami merupakan bagian hidup ibu.
"Dan lihatlah apa yang dilakukannya: Dia tidak bisa hanya hidup dengan ibu dan mengabaikan kami begitu saja. Tidak, dia mencoba dengan keras untuk menjadi ayah yang sesungguhnya bagiku. Dia selalu mempertaruhkan hubungan itu. Dia mencoba mengajarkan seperangkat niali kepadaku. Dia membuat aku mengerjakan PR-ku. Dia membawaku ke unit gawat darurat pada pukul dua dini hari. Dia membayar biaya pendidikanku tanpa mengeluh. Dia mengajariku bagaimana cara memasang dasi. Dia melakukan semua tugas ayah tanpa memikirkan balasan. Itu semua sangat besar artinya. Kukira aku merupakan anak yang beruntung memilikinya dalam hidupku."
Aku tahu bahwa ayahku berasal dari keluarga Irlandia kuno. Mereka tidak pernah menjadi terkenal, berkuasa, atau kaya, tetapi mereka telah berada di sini untuk waktu yang lama, sangat lama. Dia merasa sedih karena di merupakan orang terakhir yang "membawa nama". "Semuanya akan mati bersamaku," katanya. Saudara laki-lakinya telah meninggal tanpa memiliki anak dan saudara-saudara perempuannya, yang telah menikah dan menggunakan nama suaminya, juga tidak akan membawa nama keluarganya.
Aku dan adikku masih tetap menggunakan nama ayah kandung kami, tetapi tidak tinggal bersama lagi. Pikiran itu menggangguku, bahwa orang yang benar-benar menjadi ayahku, seperti aku memahami kata itu, tidak akan dikenal bahwa dia memiliki anak laki-laki yang menggunakan namanya sebagai nama keluarga.
Gagasan itu tercetus dalam benak kami dan sedikit demi sedikit terwujud dalam perilaku. Gagasan itu menjadi semakin kuat. Pikiran-pikiranku semakin terserap oleh gagasan itu. Akhirnya, aku melakukan tindakan yang tidak bisa dicegah lagi. Aku pergi menemui seorang pengacara dan kemudian ke pengadilan. Dengan diam-diam, aku mengganti namaku menjadi McCarty. Aku tidak memberi tahu siapa pun. Aku menunggu selama tiga bulan sampai hari ulang tahun ayahku tiba pada bulan Oktober.
Dia membuka kartu ulang tahun yang kuberikan kepadanya pelan-pelan. Biasanya, apabila aku memberinya kartu, karti itu diletakkan di dalam kotak bersama dengan hadiahnya. Kali ini tidak ada kotak, hanya amplop. Dia menarik sebuah kartu itu keluar dan, di samping kartu itu, terdapat sebuah sertifikat dari pengadilan.
Di kartu itu tertulis, "Tida ada toko yang menjual hadiah sejati bagi ayah dan anak. Anda memberiku akar, aku memberi Anda cabang."
Saat itu merupakan salah satu dari kedua atau ketiga kalinya ayahku menangis. Air mata pun mengalir dari kedua matanya. Dia tersenyum dan menggelengkan kepada dan menarik napas dalam-dalam. Lalu dia bangkit dan menarikku ke dalam salah satu pelukan eratnya yang terkenal. "Terima kasih, nak, terima kasih. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Terima kasih," Ibuku juga tertegun dan merasa sangat bahagia untuk kami berdua. Aku membawa perdamaian, terbungkus dalam sebuah kartu ulang tahun.
Hanoch McCarty
Selama enam tahun kami tinggal di sana, aku ingat kecemburuanku pada teman-temanku yang mempunyai ayah. Adalah impianku untuk mempunyai seorang Ayah untuk diriku sendiri. Ayahku sendiri sudah meninggalkan kehidupanku sepenuhnya - di mana dia berada merupakan misteri. Aku berpikir bahwa, kalau saja aku mempunyai ayah, dia akan menjadi pelindung yang kuat yang secara magis akan melindungi diriku terhadap segala bahaya yang kuhadapi di jalanan. Bagaimanapun, dalam fantasi seorang anak, ayah baruku tidak perlu bekerja. Dia cukup ada di sana untukku, setiap kali aku membutuhkannya. Kalau ada anak lain mengancamku, Super Dad akan muncul dan mengusir mereka. Itu benar-benar merupakan sebuah impian yang begitu kuat bagi seorang anak laki-laki yang merasa takut.
Tiba-tiba Frank McCarty muncul dalam kehidupan kami. Dia menyenangkan dan menarik karena dia adalah seorang kapten polisi detektif kota New York. Dia mempunyai lencana polisi yang terbuat dari emas dan pistol yang tergantung di sabuknya, tersembunyi di balik jaketnya. Aku tidak ingat waktu pertama kali dia muncul, tetapi aku ingat waktu-waktu dan peristiwa-peristiwa yang menyenangkan dan dramatis. Kehidupan polisi seperti kehidupan dalam film-film. Polisi bukanlah orang-orang yang Anda ketahui sebenarnya. Dan aku menceritakan tentang dia kepada teman-temanku. Mata mereka membelalak saat aku menceritakan senjatanya dan kisah-kisah yang dia ceritakan kepadaku tentang bagaimana dia menangkap para penjahat.
Frank McCarty tidak suka menceritakan kisah-kisah tersebut, tetapi ibuku ingin agar dia bisa diterima oleh kami, aku dan adikku, dan ibu memang tahu apa yang ingin didengar oleh anak-anak. Ibu ingin agar dia menceritakan sebuah kisah tertentu dan dia tidak akan menolak dan dengan sabar menceritakan kisah tersebut. Saat dia semakin asyik menceritakan kisah tersebut, dia menjadi begitu hidup dan kisah tersebut menjadi begitu hebat bagaikan sebuah mitos.
Pada suatu hari, Ibu bertanya kepadaku bagaimana perasaanku kalau dia menikah dengan Frank. Saat itu aku benar-benar telah masuk perangkap. Frank McCarty telah mengajakku menonton pertandingan bisbol di Polo Grounds. Dia juga telah mengajakku ke Coney Island. Dia berbicara kepadaku, menasihatiku tentang bagaimana menghadapi anak-anak yang suka menggangu di jalanan. Senjatanya memancarkan sinar kehitaman dari balik jaketnya. Aku bisa mempunyai seorang ayah, seorang pelindung, seseorang yang mengajakku menonton pertandingan. "Wow!" kataku, "Saya pasti senang!"
Maka hari itu tibalah. Kami pergi ke sebuah hotel resor di pedesaan yang pemiliknya merupakan salah seorang teman ibu. Seorang teman ibu lainnya, seorang hakim, memimpin perkawinan itu. Aku mempunyai ayah. Kini segalanya beres.
Sebagai seorang anak berusia 11 tahun, aku tidak tahu bahwa ayah baruku mempunyai pengalaman yang sangat terbatas mengenai anak-anak. Dia tidak mempunyai kesempatan untuk belajar sedikit demi sedikit tentang tugasnya yang baru sebagai orangtua dalam cara yang wajar, seperti yang biasanya dilakukan para ayah. Dia belum pernah menggendong bayinya sendiri, merasakan bagaimana senangnya melihat anaknya mulai berjalan, atau harus bergantian dengan istrinya memberi makan anak itu, mengenakan pakaiannya, mengganti popok, atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang masih banyak lagi - pokoknya tentang bagaimana menjadi orang tua.
Tiba-tiba dia harus menjadi orangtua, dan dia memperlakukan kami berdasarkan apa yang dia ketahui. Pengalamannya dengan anak-anak terbatas pada pengalaman menangkap sebagian dari anak-anak itu. Pengetahuannya tentang menjadi orangtua sama seperti cara ayahnya mendidik dan membesarkannya dengan cara-cara tahun 1990-an. Dia menganggap bahwa dia bisa duduk di ujung meja dan memberi perintah yang dia kira akan segera dipatuhi oleh anak-anak yang patuh.
Malang bagi dia, ibu mendidik kami untuk menjadi lebih mandiri, lebih berpartisipasi di dalam diskusi saat makan malam. Ibu mengajarkan kepada kami untuk berani berbicara di samping mau mendengarkan tentunya. Kami tidak diajari untuk bersikap tidak sopan atau kasar, tetapi kami boleh berdepat.
Yang lebih ruwet lagi dari semua ini adalah pada awak masa puber. Frank McCarty menjadi ayah, dengan keinginannya untuk memegang kendali, mengetahui semua yang terjadi, memimpin - pada saat aku beranjak menjadi remaja dan sedan dalam proses mencari kemandirian dan otoritas pribadi. Aku memang sangat tertarik kepadanya, bisa dikatakan hanya sekejap saja aku sudah mencintainya, namun, pada saat yang sama, hampir setiap kali aku marah padanya. Dia menjadi penghalang bagiku. Dia tidak mudah dimanipulasi. Aku dan adikku sangat lihai dalam memanipulasi ibu. Tetapi Frank McCarty tidak pernah mempan dengan tipu daya kami.
Dengan demikian mulailah masa delapan tahun sebagai masa yang benar-benar seperti neraka bagiku maupun bagi ayah baruku. Dia selalu memberi aturan dan aku selalu mencoba untuk mengabaikannya. Dia menghukumku dalam kamar karena kekasaranku atau sikapku yang tidak menyenangkan dirinya. Aku mengeluh dengan sangat kepada ibuku mengenai praktek-praktek kediktatorannya. Ibu mencoba dengan keras untuk menjadi juru damai, namun sia-sia.
Aku mengakui bahwa ada banyak sekali kesempatan di dalam hidupku mulai aku berusia 13 sampai 20 tahun sehingga aku menjadi marah dan merasa frustasi karena menurutku ayah melakukan hal yang tidak benar. Meskipun kami sering sekali menjadi sangat emosional, kadang-kadang kami merasa bahagia dan aku menikmati waktu-waktu yang menyenangkan bersamanya. Pergi berbelanja dengannya, setiap minggu, membeli bunga untuk "membuat kejutan bagi ibu", demikian dikatakannya. Pergi menonton pertandingan bola. Duduk di dalam mobil bersamanya, di alam terbuka pada waktu sudah larut, menjaga sebuah rumah. Dia akan mengajakku saat dia bertugas melakukan pengawasan, ketika dia menjadi detektif swasta dan bekerja kembali di New York, kalau kasusnya adalah sebuah penipuan asuransi atua sesuatu yang lain yang tidak berhubungan dengan kekerasan. Kami akan duduk di dalam mobil dengan lampu dipadamkan, menghirup kopi, dan dia berbicara tentang "pekerjaan", saat dia menyebut kariernya di departemen kepolisian. Aku merasa begitu istimewa, begitu dicintai, begitu dilibatkan pada saat-saat seperti itu. Sungguh semua itu benar-benar merupakan fantasiku sebelumnya. Seorang ayah yang mencintaiku, yang melakukan banyak hal bersamaku.
Aku ingat banyak, banyak malam, duduk di depannya di sebuah sandaran kaki dan dia menggosok punggungku saat kami menonton TV bersama-sama. Dia sering memelukku dengan erat. Dia tidak ragu untuk mengatakan, "Aku mencintaimu." Aku merasakan kelembutan luar biasa yang bisa diungkapkan oleh lelaki sekasar ini. Tetapi, dia bisa berubah dari saat-saat yang mesra ini menjadi berteriak-teriak sehingga wajahnya memerah dan dia marah dengan hebat kalau aku melakukan atau mengatakan sesuatu yang dia pikir kasar. Temperamennya merupakan fenomena alam seperti tornado. Sungguh aku merasa sangat ketakutan melihat hal itu dan bahkan lebih ketakutan lagi menjadi sasarannya.
Sewaktu aku duduk di bangku sekolah menengah, saat-saat aku yang penuh kemarahan itu semakin sering terjadi dan kedekatanku dengannya semakin berkurang. Saat mulai kuliah, aku hampir merasa asing dalam menghadapinya. Aku mendapatkan banyak simpati dari teman-temanku, kalau aku mengeluh tentang dirinya dalam percakapan-percakapanku dengan mereka. Aku menceritakan kisah tentang "kekasarannya" yang terakhir, dan masih saja bersikap seperti seorang anak remaja seperti diriku, dan mereka secara simpatik mengatakan betapa kami semua memiliki persoalan yang sama dengan ayah kami masing-masing.
Tahun terakhir aku di universitas. Aku tidak tahu apakah ada satu peristiwa yang menjadi pertanda kecuali bahwa aku menjadi setahun lebih tua dan menuju ke kedewasaan, tetapi aku mulai memikirkan kembali hubunganku dengan ayahku.
Aku berpikir, "Dia adalah lelaku yang jatuh cinta pada ibuku dan dia harus berhadapan dengan dua orang anak laki-laki remaja sebagai harga yang harus dibayar karena menikah dengannya. Dia tidak jatuh cinta kepada dua orang anak, tetapi hanya pada ibuku. Tetapi kami merupakan bagian hidup ibu.
"Dan lihatlah apa yang dilakukannya: Dia tidak bisa hanya hidup dengan ibu dan mengabaikan kami begitu saja. Tidak, dia mencoba dengan keras untuk menjadi ayah yang sesungguhnya bagiku. Dia selalu mempertaruhkan hubungan itu. Dia mencoba mengajarkan seperangkat niali kepadaku. Dia membuat aku mengerjakan PR-ku. Dia membawaku ke unit gawat darurat pada pukul dua dini hari. Dia membayar biaya pendidikanku tanpa mengeluh. Dia mengajariku bagaimana cara memasang dasi. Dia melakukan semua tugas ayah tanpa memikirkan balasan. Itu semua sangat besar artinya. Kukira aku merupakan anak yang beruntung memilikinya dalam hidupku."
Aku tahu bahwa ayahku berasal dari keluarga Irlandia kuno. Mereka tidak pernah menjadi terkenal, berkuasa, atau kaya, tetapi mereka telah berada di sini untuk waktu yang lama, sangat lama. Dia merasa sedih karena di merupakan orang terakhir yang "membawa nama". "Semuanya akan mati bersamaku," katanya. Saudara laki-lakinya telah meninggal tanpa memiliki anak dan saudara-saudara perempuannya, yang telah menikah dan menggunakan nama suaminya, juga tidak akan membawa nama keluarganya.
Aku dan adikku masih tetap menggunakan nama ayah kandung kami, tetapi tidak tinggal bersama lagi. Pikiran itu menggangguku, bahwa orang yang benar-benar menjadi ayahku, seperti aku memahami kata itu, tidak akan dikenal bahwa dia memiliki anak laki-laki yang menggunakan namanya sebagai nama keluarga.
Gagasan itu tercetus dalam benak kami dan sedikit demi sedikit terwujud dalam perilaku. Gagasan itu menjadi semakin kuat. Pikiran-pikiranku semakin terserap oleh gagasan itu. Akhirnya, aku melakukan tindakan yang tidak bisa dicegah lagi. Aku pergi menemui seorang pengacara dan kemudian ke pengadilan. Dengan diam-diam, aku mengganti namaku menjadi McCarty. Aku tidak memberi tahu siapa pun. Aku menunggu selama tiga bulan sampai hari ulang tahun ayahku tiba pada bulan Oktober.
Dia membuka kartu ulang tahun yang kuberikan kepadanya pelan-pelan. Biasanya, apabila aku memberinya kartu, karti itu diletakkan di dalam kotak bersama dengan hadiahnya. Kali ini tidak ada kotak, hanya amplop. Dia menarik sebuah kartu itu keluar dan, di samping kartu itu, terdapat sebuah sertifikat dari pengadilan.
Di kartu itu tertulis, "Tida ada toko yang menjual hadiah sejati bagi ayah dan anak. Anda memberiku akar, aku memberi Anda cabang."
Saat itu merupakan salah satu dari kedua atau ketiga kalinya ayahku menangis. Air mata pun mengalir dari kedua matanya. Dia tersenyum dan menggelengkan kepada dan menarik napas dalam-dalam. Lalu dia bangkit dan menarikku ke dalam salah satu pelukan eratnya yang terkenal. "Terima kasih, nak, terima kasih. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Terima kasih," Ibuku juga tertegun dan merasa sangat bahagia untuk kami berdua. Aku membawa perdamaian, terbungkus dalam sebuah kartu ulang tahun.
Hanoch McCarty